Erin, Surabaya
"Hari libur ini berasa seperti tidak libur" Keluh Adrian, suamiku dengan wajah mendungnya.
"Dengan beban seberat itu yang pean terima di rumah sakit mas?" Timpalku ikut bersimpatik.
"Iya..," Sudah kuduga, yang dimaksud dua hari libur yang diberi dalam 5 hari kerja dengan sistem shift-shiftan menjadi tidak terasa seperti libur dikarenakan banyaknya pasien di rumah sakit. Setiap hari, pasien yang berdatangan semakin banyak. Hal itu tentu saja membuat pekerjaan suamiku sebagai tenaga medis menjadi amat melelahkan. Bagaimanapun juga tenaga medis adalah garis terdepan yang melawan Covid-19. Entah aku tak habis pikir dengan sebagian masyarakat yang menolak tenaga medis pulang ke tempat tinggalnya dan bahkan ada juga yang menolak pemakaman jenazah tenaga medis. Sungguh, di mana letak empati manusia?
Corona yang semakin mewabah di bumi Indonesia ini benar-benar membuat tenaga medis menguras energi, pikir, dan bahkan waktu. Ego dikesampingkan demi kesembuhan pasien-pasiennya. Aku tak tahu, dan memang tidak ada yang tahu sampai kapan wabah ini kan berakhir. Sebagian orang hanya mampu memprediksikan kapan waktu berakhir, namun tetap saja belum ada satupun orang yang dapat memastikan kapan wabah itu benar-benar berakhir. Aku sebagai istri tenaga medis hanya bisa mendorong suami dari belakang dan tetap senantiasa berdoa agar Allah SWT senantiasa memberi kesehatan pada kami sekeluarga.
*****
Dina, Malang
"Dengan pertimbangan yang sangat panjang, Ayah memutuskan pernikahan akan diundur hingga wabah mereda..,"
Tangis air mataku terus berjatuhan. Mama memelukku berusaha menenangkanku.
Memang keputusan yang harus diambil demi kebaikan bersama. Tak mungkin menggelar pernikahan di tengah wabah seperti ini. Terlebih keluarga asli Ayah berasal dari luar kota dan suami yang ditugaskan pemerintah bekerja di luar pulau tidak memungkinkan untuk pulang kampung.
Aku melepas pelukan mama perlahan. Kemudian melangkah gontai ke dalam kamar. Ingin segera membenamkan wajah ke bantal dan menangis sekencang-kencangnya.
Oh inikah yang dinamakan patah hati,
Karena pernikahan ditunda dengan pujaan hati?
Aku meraih bantal dan menangis sejadi-jadinya.
Kenangan-kenangan yang manis bersama kekasih berputar seperti film dalam ingatanku.
Aku mengenal kekasihku sejak duduk di bangku SD ketika kami sama-sama mengikuti suatu perlombaan olimpiade. Kemudian kami menjadi sangat dekat ketika kelas 2 SMP dan akhirnya dia menyatakan perasaannya padaku. Suka, duka kami lewati bersama. Hingga akhirnya 8 tahun berlalu kekasih meminangku. Kami merencanakan pernikahan di tahun 2020 ini. Bahkan sudah menyiapkan segalanya termasuk sebagian undangan yang sudah disebar di sebagian teman yang ada di luar kota.
Namun takdir berkata lain. Corona membuat kami harus menunda segalanya. Menghubungi vendor untuk menunda pelaksanaan, hingga menghubungi teman-teman tentang penundaan akad dan resepsi. Mungkin satu hal yang belum aku lakukan, tentang penerimaan yang membuat manusia menjadi lebih legawa dalam menjalani kehidupan. Terkadang memang ada hal-hal yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan bukan?
Tapi aku berusaha belajar,
Berusaha belajar, bahwa Allah adalah sebaik-baik perencana.
Nur, Yogyakarta
Aku adalah seorang TKI yang sudah bekerja belasan tahun lamanya. Karena biaya transportasi yang mahal, maka aku biasanya pulang hanya 5 tahun sekali. Dan sudah 5 tahun ini aku belum bertemu dengan keluarga tercinta.
Aku adalah seorang pekerja keras dan menyemangati diriku sendiri untuk terus bekerja keras mengumpulkan uang agar di lebaran 2020 kelak bisa berkumpul dengan keluarga. Bagiku berkumpul dengan keluarga adalah suatu capaian yang harus dibayar dengan kerja keras yang maksimal.
Tapi takdir berkata lain...
Belum sempat aku bertemu dengan suami dan ketiga anakku yang masih kecil-kecil, aku harus terbaring di ruang isolasi. Sendiri, bertemankan dengan sepi.
Ini hari ke-38 aku dirawat di rumah sakit. 5 kali tes swab dengan hasil yang masih selalu positif.
Tak perlu dijelaskan lagi bagaimana rasanya...
"Hari libur ini berasa seperti tidak libur" Keluh Adrian, suamiku dengan wajah mendungnya.
"Dengan beban seberat itu yang pean terima di rumah sakit mas?" Timpalku ikut bersimpatik.
"Iya..," Sudah kuduga, yang dimaksud dua hari libur yang diberi dalam 5 hari kerja dengan sistem shift-shiftan menjadi tidak terasa seperti libur dikarenakan banyaknya pasien di rumah sakit. Setiap hari, pasien yang berdatangan semakin banyak. Hal itu tentu saja membuat pekerjaan suamiku sebagai tenaga medis menjadi amat melelahkan. Bagaimanapun juga tenaga medis adalah garis terdepan yang melawan Covid-19. Entah aku tak habis pikir dengan sebagian masyarakat yang menolak tenaga medis pulang ke tempat tinggalnya dan bahkan ada juga yang menolak pemakaman jenazah tenaga medis. Sungguh, di mana letak empati manusia?
Corona yang semakin mewabah di bumi Indonesia ini benar-benar membuat tenaga medis menguras energi, pikir, dan bahkan waktu. Ego dikesampingkan demi kesembuhan pasien-pasiennya. Aku tak tahu, dan memang tidak ada yang tahu sampai kapan wabah ini kan berakhir. Sebagian orang hanya mampu memprediksikan kapan waktu berakhir, namun tetap saja belum ada satupun orang yang dapat memastikan kapan wabah itu benar-benar berakhir. Aku sebagai istri tenaga medis hanya bisa mendorong suami dari belakang dan tetap senantiasa berdoa agar Allah SWT senantiasa memberi kesehatan pada kami sekeluarga.
*****
Dina, Malang
"Dengan pertimbangan yang sangat panjang, Ayah memutuskan pernikahan akan diundur hingga wabah mereda..,"
Tangis air mataku terus berjatuhan. Mama memelukku berusaha menenangkanku.
Memang keputusan yang harus diambil demi kebaikan bersama. Tak mungkin menggelar pernikahan di tengah wabah seperti ini. Terlebih keluarga asli Ayah berasal dari luar kota dan suami yang ditugaskan pemerintah bekerja di luar pulau tidak memungkinkan untuk pulang kampung.
Aku melepas pelukan mama perlahan. Kemudian melangkah gontai ke dalam kamar. Ingin segera membenamkan wajah ke bantal dan menangis sekencang-kencangnya.
Oh inikah yang dinamakan patah hati,
Karena pernikahan ditunda dengan pujaan hati?
Aku meraih bantal dan menangis sejadi-jadinya.
Kenangan-kenangan yang manis bersama kekasih berputar seperti film dalam ingatanku.
Aku mengenal kekasihku sejak duduk di bangku SD ketika kami sama-sama mengikuti suatu perlombaan olimpiade. Kemudian kami menjadi sangat dekat ketika kelas 2 SMP dan akhirnya dia menyatakan perasaannya padaku. Suka, duka kami lewati bersama. Hingga akhirnya 8 tahun berlalu kekasih meminangku. Kami merencanakan pernikahan di tahun 2020 ini. Bahkan sudah menyiapkan segalanya termasuk sebagian undangan yang sudah disebar di sebagian teman yang ada di luar kota.
Namun takdir berkata lain. Corona membuat kami harus menunda segalanya. Menghubungi vendor untuk menunda pelaksanaan, hingga menghubungi teman-teman tentang penundaan akad dan resepsi. Mungkin satu hal yang belum aku lakukan, tentang penerimaan yang membuat manusia menjadi lebih legawa dalam menjalani kehidupan. Terkadang memang ada hal-hal yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan bukan?
Tapi aku berusaha belajar,
Berusaha belajar, bahwa Allah adalah sebaik-baik perencana.
Nur, Yogyakarta
Aku adalah seorang TKI yang sudah bekerja belasan tahun lamanya. Karena biaya transportasi yang mahal, maka aku biasanya pulang hanya 5 tahun sekali. Dan sudah 5 tahun ini aku belum bertemu dengan keluarga tercinta.
Aku adalah seorang pekerja keras dan menyemangati diriku sendiri untuk terus bekerja keras mengumpulkan uang agar di lebaran 2020 kelak bisa berkumpul dengan keluarga. Bagiku berkumpul dengan keluarga adalah suatu capaian yang harus dibayar dengan kerja keras yang maksimal.
Tapi takdir berkata lain...
Belum sempat aku bertemu dengan suami dan ketiga anakku yang masih kecil-kecil, aku harus terbaring di ruang isolasi. Sendiri, bertemankan dengan sepi.
Ini hari ke-38 aku dirawat di rumah sakit. 5 kali tes swab dengan hasil yang masih selalu positif.
Tak perlu dijelaskan lagi bagaimana rasanya...
Komentar
Posting Komentar