Dendam Positif
Oleh: Inez Shabrina
Jika sembilan puluh lima persen orang memilih semua cobaan hidup sebagai beban,
Mengapa tak kau pilih lima persen sisanya yang menganggap cobaan hidup itu sebagai peluang untuk balas dendam positif ?
Terkadang aku terpuruk mengenang masa kelamku sendiri di saat kududuk di bangku SMA lalu. Acap kali kumerutuki diriku sendiri yang dulu pernah terkena sebuah penyakit, yang mana telah menyita begitu banyak waktuku untuk bersenang-senang dengan segenap teman lainnya. Sungguh, bukan penyakit biasa. Ini bukan penyakit yang sebegitu mudahnya untuk dihilangkan. Bukan pula penyakit yang mudah dijumpai segelintir orang di sekitarku. Ini adalah penyakit psikis. Dan, bukankah menyembuhkan penyakit psikis dua kali lebih sulit daripada penyakit fisik lainnya? Ya, skizofrenia yang kuderita saat itu.
Penyakit psikis yang sempat mengacaukan pikiranku karena meyakini hal-hal yang tidak benar adanya. Aku sulit untuk membedakan mana imajinasi dan mana yang nyata. Tak jarang kulukai ibu jariku sendiri hingga benar-benar berdarah. Teman sekamar yang melihat luka itu lantas memolesnya dengan minyak tawon dan cepat-cepat membalut luka itu dengan hansaplast. Namun entah karena dorongan apa, aku langsung membuka hansaplast itu dan mengulangi kebiasaan baruku lagi - melukai ibu jari. Aku bingung. Merasa terkungkung dalam duniaku sendiri. Aku resah. Tubuh ini serasa hidup di dua dunia; imajinasi dan nyata.
Aku begitu ketakutan ketika imajinasi mengantarkanku pada sebuah situasi yang amat menyeramkan. Suara letupan pistol yang mengenai kepala temanku dan bahkan seseorang melemparkan mayat-mayat tak berdosa itu ke dalam kolam yang ada di kawasan asramaku. Semua orang tampak menyalahkanku karena diriku yang telah menjadi penyebab atas kematian mereka. Kolam seketika mendadak merah. Amat mengerikan!! Kini yang ada hanya raungan tangis, jerit, dan amarah yang membahana. Aku merasa sangat terkucilkan. Tak hanya itu saja, suara cambukan sabuk yang terdengar meresahkan membuatku nyaris tak mau berkutik sedikitpun dari tempat duduk. Semua itu gara-gara aku!!
Padahal, jam belajar di kelas baru saja selesai. Saatnya aku kembali ke asrama untuk melakukan rutinitasku lainnya. Namun aku tetap tak ingin beranjak sedikitpun dari tempat duduk karena ketakutan yang sukses membuat hatiku carut marut.
“Ichaa, ayoo kita ke kamar!” Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala. Aku memeluk lututku erat-erat. Takut. Aku merasa takut sekali. Mungkin teman-teman sudah lelah melihatku begini terus, hingga mereka membawaku berbondong-bondong ke dalam kamar, dengan sedikit paksaan. Aku berjalan masih dengan perasaan ketakutan yang amat mencekam.
Melihat semua keanehan yang ada pada diriku, orang tuakupun membawaku ke orang pintar, psikolog, hingga akhirnya terhenti di poliklinik kejiwaan di RS Angkatan Laut Surabaya.
“Selamat pagi anak cantik. Apa kabar?” Sapa Ibu usia 40 tahunan berjas putih itu ramah ketika aku berada di ruangannya. Jujur, aku masih bingung. Aku hanya menjawab seadanya.
Sedikit-sedikit aku tangkap pembicaraan antara psikiater dengan Ibuku, Skizofrenia katanya. Ada ketidak seimbangan kimia yang ada di dalam otak. Neurotransmitter dopamin mengalami peningkatan yang berlebihan dalam lobus frontal. Gejala-gejalanya meliputi adanya gangguan isi pikiran seperti mendengar suara walaupun tidak ada sumber suara, salah menafsirkan persepsi dalam setiap realita, dan banyak gejala-gejala lainnya. Semua itu memang benar adanya. Melihat koran, banner di jalan, dan bahkan FTV sekalipun, semua itu seolah-olah turut menyudutkanku. Aku merasa semua orang yang ada di dunia ini membenciku. Ditambah suara-suara omongan kotor yang terlontar untukku setiap detik saat mobil yang kutumpangi berjalan membelah jalan raya. Ah waktu aku di mobil, aku nyaris memojokkan diri sambil menenggelamkan kepalaku pada lutut yang kupeluk erat-erat. Takut. Merasa tidak aman. Rasanya ingin mati!!
Berbulan-bulan lamanya aku meminum obat secara rutin untuk menyembuhkan penyakitku itu. Butuh proses yang sangat panjang untuk menjernihkan pikiranku kembali. Setidaknya aku perlahan sudah mulai bisa membedakan mana yang imajinasi dan mana yang nyata. Ketakutanku terhadap hal-hal yang rupanya kuciptakan sendiri itupun mulai memudar.
Rasa bersalah singgah pada diriku karena tidak maksimal memimpin ambalan pramuka. Bagaimana tidak? Aku sakit ketika awal-awal terpilihnya aku menjadi Ketua Dewan Ambalan Pramuka Putri periode 2012-2013. Rini, wakilku yang membantu mengurusi semuanya. Oleh karenanya, aku bertekad di sisa masa jabatanku, aku akan membalas semua kebaikan teman-teman sekaligus membayar semua tugasku sebagai ketua yang sempat lalai. Akan kulampiaskan satu jurus “Dendam Positif” selagi aku sembuh dari penyakit psikis itu - memaksimalkan diri menjadi ketua yang baik, ideal, dan mampu memajukan organisasi pramuka. Walau sempat aku merasa pesimis karena penyakit yang cukup lama menyita waktuku itu.
Acara tahunan “Scout Camp Competition” membuat ketua ambalan pramuka putra maupun ketua ambalan pramuka putri secara otomatis menjabat sebagai penanggung jawab keseluruhan acara Scout Camp Competition. Dengan penuh semangat, aku menjadikan moment ini sebagai ajang balas dendamku - dengan bertekad untuk menjadi penanggung jawab SC2 (Scout Camp Competition) sebaik mungkin. Aku menyanggupi segala tantangan ya ng akan aku hadapi nantinya, apapun itu.
Akan tetapi, rapat ambalan di malam yang dingin itu, pondasi semangat yang telah kubangun kokoh harus runtuh seketika.
Sebelumnya, aku akan bertanya padamu kawan, bagaimana jika teman-temanmu sudah tidak lagi mempercayai dirimu?
“Pak Amin masih ragu menjadikan kamu sebagai penanggung jawab. Rencananya, Rini yang akan merangkap sebagai penanggung jawab sekaligus sekretaris SC2. Tapi nggak mungkin Rini bisa merangkap dua jabatan itu sekaligus. Kamu sanggup nggak jadi penanggung jawabnya?” Bagai sembilu yang menancap hatiku dalam-dalam. Kepercayaan? Di manakah kepercayaan itu? Aku kehilangan kepercayaan dari teman-teman untukku. Aku terdiam dan mengangguk perlahan, antara sedih karena tidak dipercaya, ragu, namun masih terselip sedikit asa di sana.
“Tapi kalo kamu masih takut, jangan harap pekerjaanmu bisa lancar..,” Timpal anggota lainnya dengan senyuman sinis. Ya, seharusnya aku memahami keraguan mereka terhadapku. Sedikit sesalku, mengapa skizofrenia yang menimpa diriku terjadi cukup lama? Dan mirisnya, tak semua orang memahami akan penyakitku yang memang butuh pemulihan dalam jangka waktu yang lama.
“Sanggup nggak? Blaa blaa blaaa..,” Teman-teman lainnya ikut bicara. Pelan, namun cukup menyayat hati. Akupun mengangguk dalam-dalam dan menjawab, “ Ya... Aku bisa..,”
3 hari Scout Camp Competition berlangsung dengan lancar. Aku menjalani amanahku dengan sebaik-baiknya. Meski aku sempat sakit di hari kedua pelaksanaan SC2, aku hanya beristirahat sebentar dan melanjutkan tugasku sebagai penanggung jawab semaksimal mungkin.
Tak kupedulikan jauhnya jarak antara asrama dengan lapangan tempat SC2 dilangsungkan. Aku sering bolak-balik jalan kaki seorang diri dengan jarak 3 km yang begitu jauhnya karena ketidak tersediaannya kendaraan untuk SC2 kali ini. Demi kesuksesan SC2, itulah yang kuharapkan - selagi aku sembuh dari penyakit skizofrenia itu.
Scout Camp Competitionpun berakhir dan teman-temanku pramuka akhirnya mengakui perjuanganku yang benar-benar menguras keringat. Akan tetapi, bukan berarti kisah berakhir begitu saja. Masih ada mulut-mulut anak non ambalan yang menganggapku sebelah mata.
“Memang, ambalan sudah lengser. Tapi apa?? Hasil ambalan NOLLLL!!!”
“Kamu kenapa sih bolak-balik tempat persinggahan panitia - bumi perkemahan, tapi gak ngapa-ngapain sewaktu SC2 ?”
“Banyak kok yang bilang kayak gitu.. Sewaktu aku tanya, ‘Icha kerja apa pas SC2 ?’ Ada yang jawab.. ‘Apaanyaaa? Icha kerja apaa ?? Dia gak kerja apa-apa tuhh !!”
“Siapaaa sihhh yang dulu milih Icha jadi ketua ambalan?” Aku seperti berada di persidangan, berhadapan dengan banyak orang yang menuntutku. Menerima lontaran kata pedas dalam satu waktu. Hatiku sangat teriris. Mereka benar-benar tidak tahu apa yang terjadi selama ini. Tapi aku sudah tidak kuat membendung air mataku lagi. Tangisku pecah, membuat mereka semua semakin bahagia melihat kerapuhanku.
Yah, terkadang harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Tapi dari situ aku bisa belajar untuk mendewasakan diri. Bukankah saat kinerja kita tak dihargai, saat itu kita sedang mendapat pelajaran tentang arti ketulusan? Bukankah ketika usaha kita dinilai tak penting, saat itu kita sedang belajar tentang keikhlasan dan ketangguhan? Dan satu hal yang terpenting, bukankah saat hati terluka dalam karena ocehan tak bertanggung jawab itu, kita sebenarnya sedang belajar memaafkan tanpa dendam?
2 tahun berlalu.
2 tahun itu yang merubahku, dengan asam manis kehidupan yang disuguhkan terhadapku. 2 tahun itu pula yang membuatku merenungi akan semua itu; haruskah aku menyesali atas hilangnya kesempatan bersenang-senang dengan teman karena sakitku itu, atau haruskah aku berterima kasih atas penyakit psikis Skizofrenia yang mampu memberiku semangat lebih untuk menata diri menjadi lebih baik lagi?
Semua perenungan itu menuntunku pada sebuah jawaban, bahwasanya menjadi ketua ambalan itu sejatinya tidak hanya dalam masa periode yang telah ditentukan saat itu saja, melainkan harus terus mengakar kuat dalam diri agar mampu memberikan efek jangka panjang - minimal untuk diri sendiri. Berawal dari pelajaran memahat diri sendiri agar menjadi lebih baik, hingga bagaimana melawan musuh utama pada diri kita, yakni kemalasan yang membuat kita menunda pekerjaan.
Masa-masa ‘skizofrenia’ku itu mampu memekarkan bunga asa. Di saat harapan itu mulai redup, aku berpikir jika aku tidak pernah memiliki riwayat penyakit itu, mungkin aku tidak akan mempunyai api semangat semembara ini. Bukankah Allah telah merencanakan sesuatu yang jauh lebih indah di balik tabir kepedihan yang menghalangi mata sesaat?
*Seperti yang diceritakan oleh sahabat pengidap skizofrenia (nama disamarkan).
NB: Coming Soon! Kumpulan cerpen abnormal yang digagas oleh Pak Anwar, dosen pengampu mata kuliah Psikologi Abnormal semester 5.
Oleh: Inez Shabrina
Jika sembilan puluh lima persen orang memilih semua cobaan hidup sebagai beban,
Mengapa tak kau pilih lima persen sisanya yang menganggap cobaan hidup itu sebagai peluang untuk balas dendam positif ?
Terkadang aku terpuruk mengenang masa kelamku sendiri di saat kududuk di bangku SMA lalu. Acap kali kumerutuki diriku sendiri yang dulu pernah terkena sebuah penyakit, yang mana telah menyita begitu banyak waktuku untuk bersenang-senang dengan segenap teman lainnya. Sungguh, bukan penyakit biasa. Ini bukan penyakit yang sebegitu mudahnya untuk dihilangkan. Bukan pula penyakit yang mudah dijumpai segelintir orang di sekitarku. Ini adalah penyakit psikis. Dan, bukankah menyembuhkan penyakit psikis dua kali lebih sulit daripada penyakit fisik lainnya? Ya, skizofrenia yang kuderita saat itu.
Penyakit psikis yang sempat mengacaukan pikiranku karena meyakini hal-hal yang tidak benar adanya. Aku sulit untuk membedakan mana imajinasi dan mana yang nyata. Tak jarang kulukai ibu jariku sendiri hingga benar-benar berdarah. Teman sekamar yang melihat luka itu lantas memolesnya dengan minyak tawon dan cepat-cepat membalut luka itu dengan hansaplast. Namun entah karena dorongan apa, aku langsung membuka hansaplast itu dan mengulangi kebiasaan baruku lagi - melukai ibu jari. Aku bingung. Merasa terkungkung dalam duniaku sendiri. Aku resah. Tubuh ini serasa hidup di dua dunia; imajinasi dan nyata.
Aku begitu ketakutan ketika imajinasi mengantarkanku pada sebuah situasi yang amat menyeramkan. Suara letupan pistol yang mengenai kepala temanku dan bahkan seseorang melemparkan mayat-mayat tak berdosa itu ke dalam kolam yang ada di kawasan asramaku. Semua orang tampak menyalahkanku karena diriku yang telah menjadi penyebab atas kematian mereka. Kolam seketika mendadak merah. Amat mengerikan!! Kini yang ada hanya raungan tangis, jerit, dan amarah yang membahana. Aku merasa sangat terkucilkan. Tak hanya itu saja, suara cambukan sabuk yang terdengar meresahkan membuatku nyaris tak mau berkutik sedikitpun dari tempat duduk. Semua itu gara-gara aku!!
Padahal, jam belajar di kelas baru saja selesai. Saatnya aku kembali ke asrama untuk melakukan rutinitasku lainnya. Namun aku tetap tak ingin beranjak sedikitpun dari tempat duduk karena ketakutan yang sukses membuat hatiku carut marut.
“Ichaa, ayoo kita ke kamar!” Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala. Aku memeluk lututku erat-erat. Takut. Aku merasa takut sekali. Mungkin teman-teman sudah lelah melihatku begini terus, hingga mereka membawaku berbondong-bondong ke dalam kamar, dengan sedikit paksaan. Aku berjalan masih dengan perasaan ketakutan yang amat mencekam.
Melihat semua keanehan yang ada pada diriku, orang tuakupun membawaku ke orang pintar, psikolog, hingga akhirnya terhenti di poliklinik kejiwaan di RS Angkatan Laut Surabaya.
“Selamat pagi anak cantik. Apa kabar?” Sapa Ibu usia 40 tahunan berjas putih itu ramah ketika aku berada di ruangannya. Jujur, aku masih bingung. Aku hanya menjawab seadanya.
Sedikit-sedikit aku tangkap pembicaraan antara psikiater dengan Ibuku, Skizofrenia katanya. Ada ketidak seimbangan kimia yang ada di dalam otak. Neurotransmitter dopamin mengalami peningkatan yang berlebihan dalam lobus frontal. Gejala-gejalanya meliputi adanya gangguan isi pikiran seperti mendengar suara walaupun tidak ada sumber suara, salah menafsirkan persepsi dalam setiap realita, dan banyak gejala-gejala lainnya. Semua itu memang benar adanya. Melihat koran, banner di jalan, dan bahkan FTV sekalipun, semua itu seolah-olah turut menyudutkanku. Aku merasa semua orang yang ada di dunia ini membenciku. Ditambah suara-suara omongan kotor yang terlontar untukku setiap detik saat mobil yang kutumpangi berjalan membelah jalan raya. Ah waktu aku di mobil, aku nyaris memojokkan diri sambil menenggelamkan kepalaku pada lutut yang kupeluk erat-erat. Takut. Merasa tidak aman. Rasanya ingin mati!!
Berbulan-bulan lamanya aku meminum obat secara rutin untuk menyembuhkan penyakitku itu. Butuh proses yang sangat panjang untuk menjernihkan pikiranku kembali. Setidaknya aku perlahan sudah mulai bisa membedakan mana yang imajinasi dan mana yang nyata. Ketakutanku terhadap hal-hal yang rupanya kuciptakan sendiri itupun mulai memudar.
Rasa bersalah singgah pada diriku karena tidak maksimal memimpin ambalan pramuka. Bagaimana tidak? Aku sakit ketika awal-awal terpilihnya aku menjadi Ketua Dewan Ambalan Pramuka Putri periode 2012-2013. Rini, wakilku yang membantu mengurusi semuanya. Oleh karenanya, aku bertekad di sisa masa jabatanku, aku akan membalas semua kebaikan teman-teman sekaligus membayar semua tugasku sebagai ketua yang sempat lalai. Akan kulampiaskan satu jurus “Dendam Positif” selagi aku sembuh dari penyakit psikis itu - memaksimalkan diri menjadi ketua yang baik, ideal, dan mampu memajukan organisasi pramuka. Walau sempat aku merasa pesimis karena penyakit yang cukup lama menyita waktuku itu.
Acara tahunan “Scout Camp Competition” membuat ketua ambalan pramuka putra maupun ketua ambalan pramuka putri secara otomatis menjabat sebagai penanggung jawab keseluruhan acara Scout Camp Competition. Dengan penuh semangat, aku menjadikan moment ini sebagai ajang balas dendamku - dengan bertekad untuk menjadi penanggung jawab SC2 (Scout Camp Competition) sebaik mungkin. Aku menyanggupi segala tantangan ya ng akan aku hadapi nantinya, apapun itu.
Akan tetapi, rapat ambalan di malam yang dingin itu, pondasi semangat yang telah kubangun kokoh harus runtuh seketika.
Sebelumnya, aku akan bertanya padamu kawan, bagaimana jika teman-temanmu sudah tidak lagi mempercayai dirimu?
“Pak Amin masih ragu menjadikan kamu sebagai penanggung jawab. Rencananya, Rini yang akan merangkap sebagai penanggung jawab sekaligus sekretaris SC2. Tapi nggak mungkin Rini bisa merangkap dua jabatan itu sekaligus. Kamu sanggup nggak jadi penanggung jawabnya?” Bagai sembilu yang menancap hatiku dalam-dalam. Kepercayaan? Di manakah kepercayaan itu? Aku kehilangan kepercayaan dari teman-teman untukku. Aku terdiam dan mengangguk perlahan, antara sedih karena tidak dipercaya, ragu, namun masih terselip sedikit asa di sana.
“Tapi kalo kamu masih takut, jangan harap pekerjaanmu bisa lancar..,” Timpal anggota lainnya dengan senyuman sinis. Ya, seharusnya aku memahami keraguan mereka terhadapku. Sedikit sesalku, mengapa skizofrenia yang menimpa diriku terjadi cukup lama? Dan mirisnya, tak semua orang memahami akan penyakitku yang memang butuh pemulihan dalam jangka waktu yang lama.
“Sanggup nggak? Blaa blaa blaaa..,” Teman-teman lainnya ikut bicara. Pelan, namun cukup menyayat hati. Akupun mengangguk dalam-dalam dan menjawab, “ Ya... Aku bisa..,”
3 hari Scout Camp Competition berlangsung dengan lancar. Aku menjalani amanahku dengan sebaik-baiknya. Meski aku sempat sakit di hari kedua pelaksanaan SC2, aku hanya beristirahat sebentar dan melanjutkan tugasku sebagai penanggung jawab semaksimal mungkin.
Tak kupedulikan jauhnya jarak antara asrama dengan lapangan tempat SC2 dilangsungkan. Aku sering bolak-balik jalan kaki seorang diri dengan jarak 3 km yang begitu jauhnya karena ketidak tersediaannya kendaraan untuk SC2 kali ini. Demi kesuksesan SC2, itulah yang kuharapkan - selagi aku sembuh dari penyakit skizofrenia itu.
Scout Camp Competitionpun berakhir dan teman-temanku pramuka akhirnya mengakui perjuanganku yang benar-benar menguras keringat. Akan tetapi, bukan berarti kisah berakhir begitu saja. Masih ada mulut-mulut anak non ambalan yang menganggapku sebelah mata.
“Memang, ambalan sudah lengser. Tapi apa?? Hasil ambalan NOLLLL!!!”
“Kamu kenapa sih bolak-balik tempat persinggahan panitia - bumi perkemahan, tapi gak ngapa-ngapain sewaktu SC2 ?”
“Banyak kok yang bilang kayak gitu.. Sewaktu aku tanya, ‘Icha kerja apa pas SC2 ?’ Ada yang jawab.. ‘Apaanyaaa? Icha kerja apaa ?? Dia gak kerja apa-apa tuhh !!”
“Siapaaa sihhh yang dulu milih Icha jadi ketua ambalan?” Aku seperti berada di persidangan, berhadapan dengan banyak orang yang menuntutku. Menerima lontaran kata pedas dalam satu waktu. Hatiku sangat teriris. Mereka benar-benar tidak tahu apa yang terjadi selama ini. Tapi aku sudah tidak kuat membendung air mataku lagi. Tangisku pecah, membuat mereka semua semakin bahagia melihat kerapuhanku.
Yah, terkadang harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Tapi dari situ aku bisa belajar untuk mendewasakan diri. Bukankah saat kinerja kita tak dihargai, saat itu kita sedang mendapat pelajaran tentang arti ketulusan? Bukankah ketika usaha kita dinilai tak penting, saat itu kita sedang belajar tentang keikhlasan dan ketangguhan? Dan satu hal yang terpenting, bukankah saat hati terluka dalam karena ocehan tak bertanggung jawab itu, kita sebenarnya sedang belajar memaafkan tanpa dendam?
2 tahun berlalu.
2 tahun itu yang merubahku, dengan asam manis kehidupan yang disuguhkan terhadapku. 2 tahun itu pula yang membuatku merenungi akan semua itu; haruskah aku menyesali atas hilangnya kesempatan bersenang-senang dengan teman karena sakitku itu, atau haruskah aku berterima kasih atas penyakit psikis Skizofrenia yang mampu memberiku semangat lebih untuk menata diri menjadi lebih baik lagi?
Semua perenungan itu menuntunku pada sebuah jawaban, bahwasanya menjadi ketua ambalan itu sejatinya tidak hanya dalam masa periode yang telah ditentukan saat itu saja, melainkan harus terus mengakar kuat dalam diri agar mampu memberikan efek jangka panjang - minimal untuk diri sendiri. Berawal dari pelajaran memahat diri sendiri agar menjadi lebih baik, hingga bagaimana melawan musuh utama pada diri kita, yakni kemalasan yang membuat kita menunda pekerjaan.
Masa-masa ‘skizofrenia’ku itu mampu memekarkan bunga asa. Di saat harapan itu mulai redup, aku berpikir jika aku tidak pernah memiliki riwayat penyakit itu, mungkin aku tidak akan mempunyai api semangat semembara ini. Bukankah Allah telah merencanakan sesuatu yang jauh lebih indah di balik tabir kepedihan yang menghalangi mata sesaat?
*Seperti yang diceritakan oleh sahabat pengidap skizofrenia (nama disamarkan).
NB: Coming Soon! Kumpulan cerpen abnormal yang digagas oleh Pak Anwar, dosen pengampu mata kuliah Psikologi Abnormal semester 5.
Komentar
Posting Komentar