Jera
Oleh:
Inez Shabrina
Cafe Payung, Paralahyang - Batu
09:00 WIB
Hawa dingin kini lebih menggigit
dari hari kemarin. Hujan kali ini juga nampaknya berbeda. Ia menyeruakkan aroma
yang tak biasa, yang mana mampu membawaku hanyut dalam kenangan. Aku merapatkan
jaket biruku rapat-rapat dan menghirup kepulan kabut tipis dari coklat hangat
yang akan kuteguk setelahnya.
Tubuhku mulai merasakan kehangatan.
Terlebih saat memoriku yang terputar bagai film di kepala berhenti pada suatu
momen di mana aku dan Aldo, pasangan LDR-ku basah kuyup terkena hujan dan
kemudian berhenti di suatu kedai, memesan bakso urat yang sangat nikmat. Masih
terekam jelas di benakku pula saat jaket yang ia pakai dilepasnya kemudian ia memakaikannya
ke tubuhku. Seketika aku merasa hangat.
Sambil menikmati panorama indah yang
tersuguhkan di Cafe Payung, ingatan lain
ikut mewarnai pikiranku. Termasuk tentang lelaki lain, tentang Dika yang
perlahan menyusupi celah-celah pikiranku, juga ingatan pesan Naura yang
melarangku keras untuk berpindah hati dari...Aldo.
“Shanaz, jangan sampai hubunganmu
buyar gara-gara Dika. Yaa memang orang bijak bilang kalo orang yang jauh itu
bakal kalah dengan orang yang dekat. Tapi kalau konteksmu itu.. Coba bayangin,
semisal kamu pake teori orang yang jauh bakal kalah dengan orang yang dekat..
Gimana dengan hubunganmu yang sudah dua tahun? Kamu bakal sia-siain pengorbanan
Aldo selama ini? Nanti yang ada malah nyesel lho..,” Pesan Naura, sahabatku
suatu ketika aku menceritakan bahwa aku mulai menyayangi Dika yang akhir-akhir
ini sering mendekatiku.
Menurutku Dika adalah anak yang
baik, pengertian, dan asyik untuk diajak bercanda maupun diskusi. Ada begitu
banyak percakapan yang kami lewati bersama dan aku takjub dengan begitu banyak
kesamaan yang kami miliki. Perbincangan yang selalu mengalir dan nyambung membuatku semakin merasa nyaman
dengan kehadirannya. Tidak seperti Aldo yang, ahh menurutku dia semakin
membosankan. Dan aku sadari, aku jenuh. Lelah dengan hubunganku dengannya yang
semakin flat, kau tahu!
Jadi, bolehkah aku mencintai orang
lain - yang sepertinya juga mencintaiku - dalam situasi aku sedang berstatus
pacaran seperti ini? Sementara kita juga tidak akan pernah tahu siapa yang
telah digariskan Tuhan sebagai pendamping hidup kita kelak.
“Punya film anime Dango..?” Selalu
saja ada pembahasan yang asyik ketika aku dan Dika mengobrol. Saat itu ia
bersedia mengantarkanku ke terminal. Perjalanan
menuju terminal kita habiskan dengan canda dan diskusi yang tak pernah ada
ujungnya. Dari pembahasan psikopat, sadisme-masokisme, hingga membahas anime buatan
Jepang.
“Dango?” Nadanya terdengar jelas
mengingat-ingat nama yang baru saja kusebut.
“Dango itu bukannya nama lagunya
yaa?”
“Iyaa, nama lagunya juga nama
filmnya..,” Jawabku bersemangat.
“Dango.. Kalo nggak salah Dango itu
nama lagu. Sedangkan nama filmnya ituu Clannad,” Terang Dika.
“Oh iyaa Clannad...,” Perjalanan
menjadi semakin seru. Bahkan dengan gilanya kita mendendangkan lagu Dango yang
menjadi soundtrack Film Anime Clannad itu. Di tengah perjalanan itu pula aku
mengutarakan keinginanku hendak meminjam uangnya sementara karena kurangnya
uang yang kubawa untuk ongkos pulang. Dengan senang hati ia mau meminjamkannya.
Namun sesampainya di terminal, kita
sama-sama lupa. Aku lupa memintanya lagi, dan Dika lupa akan meminjami uang
kepadaku. Mau menghubungi Dika, pasti dia sedang berada dalam perjalanan dan
tidak mungkin mengecek hp. Tak ada pilihan selain membongkar semua barang yang
ada di dalam ransel barangkali terdapat sebuah keajaiban uang terselip di sana.
Aku bersemangat memilah satu persatu
barang yang ada di ransel, berharap besar lembaran uang muncul, tak peduli
sekusut apapun ia. Namun hasilnya tetap nihil. Tanganku merogoh hingga
saku-saku di dalam ransel tersebut pun tetap saja tidak ada lembaran uang untuk
biaya ongkosku pulang. Jelas saja aku semakin panik. Aku ulangi lagi
merogoh-rogoh bagian bawah tas hingga benar-benar dapat.
“Shanaz..,” Aku terkesiap. Seorang
laki-laki muncul di hadapanku dengan lembaran uang dua puluh ribuan yang
dipegangnya. Laki-laki itu adalah, Dika. Bagaimana bisa, di tengah perjalanan
ia teringat akan keinginanku meminjam uang dan langsung berbalik arah menemuiku
di terminal hanya untuk meminjamkan uangnya padaku.
“Kamu lho kok peka sih?” Omelku
diakhiri tawa. Lembaran uang itu pun beralih cepat ke tanganku.
“Makasih ya..,”
“Iya sama-sama. Yaudah berangkat
sana. Hati-hati..,” Pesan Dika dengan senyum manisnya. Aku berhasil luluh
dibuatnya.
Aku ingat betul, kedekatanku dengan
Dika berada di puncak titik jenuhku dengan Aldo pasangan LDR-ku. Aku semakin
menyukai Dika di saat pertahananku mulai rapuh perlahan untuk sebuah hubungan
LDR. Walaupun sisi hatiku lainnya meyakinkan bahwa Aldo di tempatnya berada
sedang mengusahakan aku agar bisa melangkah menemaninya di pelaminan kelak.
Tapi tetap saja hati nuraniku kalah dengan egoku.
Jarum panjang telah beradu dengan
jarum pendek di angka dua belas. Dua jam sengaja aku habiskan lamunanku sebelum
bertemu dengannya,
Kau tahu siapakah orang yang kuminta
untuk datang saat ini? Dikakah? Atau Aldokah?
Dari jendela, aku melongok ke
parkiran bawah. Memastikan seseorang yang berjanji datang memenuhinya secara
tepat waktu atau tidak. Pukul dua belas siang aku memintanya datang. Dan
seperti yang dijanjikannya, dia memang benar-benar datang tepat waktu. Aku menghela
napas, siap mengungkapkan kata-kata yang telah kususun rapi sebelumnya.
“Aku sudah lelah. Ingin sudahan..,” Kataku
setelah hening cukup lama. Aku tahu ucapanku terdengar pelan, namun bisa
kupastikan dari raut wajah Aldo yang mendadak mendung, menyiratkan bahwa ia sepelan
apapun nada bicaraku, tetap saja hal itu mengiris-iris hatinya. Hatiku serasa
dipenuhi dua kubu yang saling berseteru ,
Iya
betul itu. Bisa saja yang terbaik memang Dika. Bukankah Aldo sering membuatmu
tersakiti Keputusanmu untuk mengakhiri hubungan dengannya sangatlah tepat.
Sebenarnya ada banyak warna kebahagiaan yang ditorehkan
Aldo ke dalam hidupmu. Namun karena pikiranmu yang sudah bercabang itulah yang
membuatmu mengambil keputusan gegabah seperti ini. Penyesalan selalu datang di
akhir.
“Aku... Bisa meminta
penjelasan mengapa kamu ingin menyudahi hubungan ini?” Tanya Aldo menatap
lekat-lekat mataku.
“Setiap aku chat kamu, pasti kamu
menyuruhku untuk istirahat. Trus, kapan kita kontakannya?” Jawabku sedikit
emosi.
“Kamu sadar, jam berapa kamu chat
aku?” Aku terhenyak mendengar pertanyaannya.
“Kamu ngechat aku itu selalu jam 11.
Sedangkan jam 11 adalah waktu untuk istirahat. Katamu ingin hidup bersama
sampai tua? Ya harus bisa menjaga kesehatan dari sekarang. Apa yang kamu panen
besok itu adalah apa yang kamu tanam sekarang. Pola hidupmu sangat menentukan
kesehatan untuk ke depannya. Karena ingin hidup bersama sampai tua ya tidurnya
nggak boleh terlalu larut,” Aku diam bergeming. Aldo sangat mempedulikan
kesehatanku dibandingkan aku yang terkadang tidak acuh terhadap kesehatanku
sendiri. Dika yang mengajak chat hingga larut malam pun, mana pernah ia
memerhatikan kesehatanku? Jika ia peduli terhadap kesehatanku, harusnya ia tak
boleh membiarkan dirinya betah berjam-jam lamanya chattingan denganku hingga
larut malam.
“Trus.. Kenapa kamu baru chat aku
jam 11? Mau alasan sibuk? Sibuk kok 24 jam ha?” Tanyanya bertubi-tubi. Aku
sibuk merangkai kata demi kata, yang ujungnya hanya menemukan jalan buntu. Tak
tahu apa yang mesti diucap.
“Dan, dalam dua minggu terakhir
ini.. Kamu selalu tidur pada pukul 1 dini hari.,” Imbuhnya lagi. Aku
berpura-pura memasang wajah tidak percaya.
“Aku tahu.. Kamu online hingga jam 1
itu..,” Aku diam terpaku. Rupanya dia selalu memantauku hingga aku benar-benar
terlelap. Masalah online hingga jam 1
memang benar, tetapi untuk berterus terang bahwa selama ini aku sibuk
dengan lelaki lain, itu adalah perkara yang mustahil dilakukan.
“Maafkan aku sayang..,” Ucapku penuh
sesal. Aku tak berani menjawab rentetan pertanyaan itu tadi karena menyadari
dirinya yang begitu peka akan kebohongan yang kuucap nantinya. Dan bisa
diprediksikan hal itu akan membuat hubungan menjadi semakin kacau. Lagipula,
dia tidak begitu mendesak jawaban dariku. Jadi kurasa, perkataan maaf cukup
mewakili semua ini.
Aku sadari, aku salah. Alasan yang
diutarakan Aldo tadi sangatlah rasional, demi kesehatanku semata. Justru aku
yang harusnya malu. Tega-teganya menduakan lelaki yang sudah memberikan
seutuhnya hati kepadaku. Lalu, haruskah aku menarik kata putus yang sudah
terlanjur keluar dari mulutku?
“Hmm, kamu masih mau
lanjut kan?” Tanyaku pura-pura lupa atas permintaan putusku tadi. Aldo
tersenyum lebar dan mengacak-acak poni rambutku.
“Ya tentulah sayang. Sedari awal
kita jadian.. Aku sudah bertekad ingin menjadikanmu partner hidup aku. Tentu
saja aku akan memperjuangkanmu sampe nikah nanti. Dan semoga bisa menjadi jodoh
dunia-akhirat. Aamiiin,” Air mataku tumpah. Ketulusannya mampu membuat air
mataku tak sanggup untuk kubendung lagi. Aldo, memang lelaki setia.
Kini
ku pun tersadar, aku harus bangga dengan jarak yang mampu membuat hubungan
semakin indah. Tidakkah kau pikir, bahwa jarak mampu membuat kita bergerak
mengarungi dalamnya ruang rindu?
Dan aku jera menduakan cintanya
lagi,
Sebelum akhirnya dia benar-benar
jera
mencintaiku yang jauh dari
kesempurnaan ini.
NB: Karya ini lolos 61 terpilih dari 100 lebih peserta dalam event cerita tema LDR yang diadakan oleh Pustaka Tunggal yang akan dibukukan dengan judul "Distance and Difference".
Komentar
Posting Komentar