Langsung ke konten utama

Cerpen; Senja dalam Elegi

Senja dalam Elegi
Oleh: Inez Shabrina

            Dokter dan perawat bergegas memasuki kamar Siti Khodijah no. 10. Keluarga yang menunggu pasien di sana tampak ribut. Mereka kebingungan karena darah yang baru saja membanjiri tubuh pasien. Sebagian perawat terburu-buru mengambil transfusi darah, berharap nyawa pasien masih tertolong. Perawat dan dokter bekerja cepat untuk mengatasi pendarahan itu. Memang benar, ditransfusi dapat menambah darah pasien. Akan tetapi darah yang telah ditransfusi seketika bocor dalam hitungan detik. Ditransfusi, lalu darah itu mengucur lagi dengan derasnya. Begitulah seterusnya. Hingga tekanan darah pasien benar-benar rendah, nadi melemah, dan jantung berhenti berfungsi dari memompa darah.
            Senja, yang akan menutup hari,
            juga menutup usia pasien yang masih berusia 20 tahun itu.
            Tangis keluarga pasien pecah. Tak menyangka, salah satu dari kerabat mereka telah meninggal dunia. Ia pergi untuk selama-lamanya.
                                                                        *****
            Terkadang aku masih bertanya-tanya, di antara kami sekeluarga,  siapakah yang lebih dulu pergi untuk selamanya? Tante - Panggilan untuk istri kedua Ayah karena tumor serviksnya, Ayah dengan penyakit asamuratnya, atau bahkan Ibu yang kini tengah menderita diabetes? Sejauh yang kufahami, orang-orang yang baik pasti akan bertahan lama.  Ya, tentu saja tokoh baik harus merasakan happy ending seperti film-film yang kutonton, karena mereka berhak akan itu!
            Aku terus melangkah ceria. Yakin dengan kebahagiaan yang akan kudapatkan kembali setelah direbut paksa oleh istri muda Ayah. Segala kekecewaan dan sakit hati yang kuterima, tak kuacuhkan. Aku hanya memalingkan muka sambil menyunggingkan senyum lantas berteriak penuh semangat dalam hati, “Episode bahagiaku pasti akan kembali!”
            Keluargaku memang penuh dengan harta yang berlimpah. Tidak ada satupun kekurangan yang ada pada diri kami. Rumah mewah, mobil, dan berbagai kekayaan lainnya, semua telah tersedia untuk kami. Kisah kehilangan seorang yang dikasihipun tak pernah menimpa kami.
            Jadi, sebersit pikiran usilkupun muncul. Jika keluargaku hanya bisa menambah dan terus menambah? Maka kapan keluargaku akan dipaksa takdir untuk mengurangi? Jika episode kehilangan itu akan terjadi di keluargaku dalam detik-detik ini, maka siapakah yang akan lebih dulu pergi untuk selamanya? 
            Atas segala kekecewaan, atas segala harapan, waktu terus berpindah dan bergulir tanpa henti. Dan memang begitulah waktu. Ia tetap terus berjalan bahkan ketika asa mulai hancur. Namun terlepas dari itu semua, ada kalanya waktu menjelma obat yang paling baik. Karena ia hadir untuk menjawab semua rentetan pertanyaan yang ada.   
            Sekian lama kumenanti waktu. Terus menunggu, untuk mendapat jawaban atas rentetan pertanyaan yang masih menggelayut di hati. Dan, akhirnya ku mendapatkan jawabnya.  
            Aku serasa ditampar oleh sang waktu. Rupanya ia tak ingin berpihak padaku.
            Ahh, senja itu.. Kau tahu kawan?
            Ibuku meninggal dunia. Akankah Ayah menyadari bahwa penyakit diabetes yang diderita Ibu karena luka batin yang diterimanya semasa ia hidup? Hujan rintik-rintik bercampur dengan air mataku yang terus terjatuh membasahi pipi. Aku berjalan di belakang keranda jenazah Ibu tepat.
            Kali ini aku berpikir, yang pergi lebih dulu bukan berarti ia kalah. Namun justru ia yang paling dirindukan untuk berada di pelukan-Nya. Ibu, surga adalah tempatmu, karena kau berhasil menjalani hidup sebagai wanita yang dimadu.
            Keranda itu dibuka. Aku melihat di setiap sudut yang ada pada jenazah Ibu. Lubang besar yang telah digali khusus untuk Ibu di sisi kanannya. Mataku terus menyapu area pemakaman hingga aku terpana saat mataku tertuju pada nisan yang masih terlihat baru, di sebelah lubang besar itu. Punya siapakah itu?
            Liana Rossa
            Tak lain, nisan itu adalah nisanku. Hatiku tergelitik.                    
            Aku sadar, aku yang lebih dulu pergi sebelum Ibuku dipanggil. Senja di hari yang sama, saat aku menghembuskan nafas yang terakhir di rumah sakit karena penyakit typus yang sudah sampai  pada stadium tinggi, saat pendarahan usus itu terjadi.
                                                                            *****
            Dulu aku berpikir, tokoh baik biasanya akan bertahan lebih lama di dunia karena berhak mendapatkan happy ending dalam skenario kehidupannya. Tapi kali ini aku berpikir, rupanya aku dan Ibuku yang dipanggil lebih dulu ke pangkuan-Nya karena memang kami yang lebih disayang, lebih dirindukan oleh-Nya.
            Aku, sudah bukan apa-apa lagi, terlebih saat melihat Ayahku menggandeng mesra tangan istri mudanya. Pikiran Ayah yang terlalu rasional pasti mengatakan kematian Ibu karena memang sudah takdirnya. Padahal aku yakin betul, kepergian Ibu dikarenakan menahan siksaan batin atas pernikahan Ayah dengan istri muda itu. Akan tetapi hati Ayah terlalu keras untuk berfikir semacam itu.

            Berbicara tentang kepergianku? Tak usahlah, karena itu tak akan merubah apapun.  



NB: Alhamdulillah ini karya pertama yang lolos dalam event lomba kepenulisan. Dari 677 cerita, terpilih 298 cerita yang diabadikan ke dalam buku berjudul "December Clouds" oleh Penerbit Ellunar Publisher

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi; Lelaki Buaya Darat

Lelaki Buaya Darat Oleh: Inez Shabrina Saat aku kau tatap Kubalas dengan harap Dan kata cinta kau ungkap Janji sehidup semati pun kau ucap Mataku gelap Logikaku lenyap Perasaanku padamu semakin meluap Namun cinta yang kau beri hanya sekejap Kau pun lari Setelah kau tancap duri Dan kini kusendiri Aku meronta Mengapa kau katakan cinta? Padahal itu dusta Malam yang pekat Membuatku tercekat Kenyataan yang menyayat Kau bercumbu dengan teman sejawat Bangsat, Dasar kau pengkhianat! Julukan lelaki buaya darat Pantas kau dapat NB: Karya ini masuk 100 puisi terpilih dari 218 karya peserta dalam event puisi bertema Dusta yang diadakan oleh Pustaka Tunggal.

Let it Flow

Aku menyadari. Semakin dewasa, ada semakin banyak hal yang harus di-gapapa-in. Demi kebaikan dan keseimbangan hidup. Semua ada porsinya. Ada beberapa hal yang harus diprioritaskan, difikirkan dengan baik. Namun ada juga beberapa hal yang harusnya tidak masuk dalam pikiran. Ini semua tentang pilihan. Bagaimana kau memilih mana yang harus dipikir, mana yang tidak harus dipikirkan. Bukan berarti aku memintamu untuk lari dari masalah, tidak.. Tapi ada beberapa masalah receh yang memang tidak harus dipikirkan, apalagi sampai mengganggu kehidupanmu. Ada pula beberapa masalah yang harus dihadapi. Namun tidak boleh dihadapi dengan kepanikan, melainkan dengan ketenangan. Karena semua masalah itu mau dihadapi dengan rasa tenang, sedih, takut, panik, marah, atau dengan bagaimana pun juga, masalah itu akan tetap ada. Jadi kita cukup fokus dengan solusinya. Jadi... Let it flow, biarkan mengalir... Belajar untuk menutup telinga. Bahkan Ali bin Abi Tholib berkata, "Jangan menjelaskan te...

Puisi; Kacamata Hati

Kacamata Hati Kacamata berlensakan kepedulian, Biarlah mata hati yang mengemudikan.. Melihat, tidak sekedar melihat Mendengar rintihan kecil mampu membuat hati turut tersayat             Bukalah jendela pikiranmu,             Kau kan tertampar angin keangkuhan dirimu                                     Tidakkah kau lihat?             Kemiskinan, pertikaian di mana-mana,             Kejahatan, korupsi merajalela             Jerit tangis korban bencana menggemuruh             Se...